Kapankah tari Janger diciptakan? Siapakah penciptanya? Pertanyaan ini
bisa diteruskan untuk seni tari lainnya, dan kita tak akan mendapatkan
jawaban yang memuaskan.
Janger barangkali lebih muda dibandingkan Cak. Tetapi, saya tak tahu
persis, belum pernah menemukan buku tentang sejarah Janger. Kalau drama
tari Gambuh, sudah terbit buku dengan editor Maria Cristina Formaggia.
Ini buku tentang Gambuh yang paling lengkap. Gambuh diperkirakan sudah
ada pada abad XIV dan terus mengalami evolusi sampai abad XVII. Bentuk
tarinya kemudian mengalami ”balinisasi” di abad XIX sampai abad XX.
Lalu, ini yang menyedihkan, Gambuh nyaris mati di abad XXI ini.
Bagaimana dengan Janger? Janger Kedaton
berusia 100 tahun. Itu berarti Janger sudah berusia seabad lebih, dan
kita tidak tahu apakah usia sejatinya dua abad atau tiga abad. Belum ada
penelitian ke arah itu, termasuk bagaimana evolusi Janger dari abad ke
abad. Bahwa di Banjar Kedaton telah ada Janger sejak tahun 1906 dan
terus dipelihara dari waktu ke waktu tentu merupakan prestasi
tersendiri. Lestarinya kesenian di sebuah desa di Bali umumnya dikaitkan
dengan hal-hal mistis. Janger Kedaton pun demikian. Masyarakat boleh
beralih profesi, tetapi kesenian tetap dipertahankan karena dipayungi
oleh hal-hal mistis dan sakral. Perjalanan Janger ini menjadi sisi
menarik yang layak didokumentasikan.
Seni tari Janger mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ini
disebabkan pola dasar tari Janger adalah adanya dua kelompok yang
bertembang saling bersautan. Di daerah-daerah lain Nusantara, jenis
kesenian yang bertembang bersautan juga ada, baik berupa kidung
tradisional maupun berpantun. Dan, kesenian seperti itu mengalami
perubahan yang sama dengan Janger, yakni masuknya unsur-unsur aktual
tentang situasi dan kondisi masyarakat pada zamannya.
Janger yang ”tradisional”, meski belum ada penelitian tentang itu,
bercerita tentang kelompok muda-mudi yang lagi dimabuk asmara, yang
sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi.
Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok
penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan tentang
kisah-kisah asmara, dari cara berkenalan, menanyakan identitas, dan
menjurus ke rayuan. Semuanya dilakukan dengan riang gembira. Mungkin
keriangan itu ciri khas Janger yang tidak mengalami perubahan.. Pada
umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan
mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel
(Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya
Janger di Bali diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari
tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara
pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara
wanita.
Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda
Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di
seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri
sesuai dengan selera masyarakat setempat.
* Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan penampilan
peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal tentara Belanda dengan
gerak-gerak improvisasi yang kadang-kadang memberi komando kepada penari
Janger maupun Kecak).
* Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan
* Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi dengan
Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat menamakannya Janger
Gong.
Pada dasawarsa 1960-an, terutama menjelang tahun 1965, Janger di Bali
diracuni masalah politik yang mencerminkan adanya pertentangan di
tengah-tengah masyarakat. Ada Janger PKI dan ada Janger PNI dan mereka
saling sindir. Pakaian penari pun, terutama kelompok pria, mengalami
perubahan sesuai dengan situasi saat itu. Janger kelompok pria memakai
celana dan sering di tangannya ada pedang. Jadi, gerak tarinya adalah
kombinasi dari gerakan silat. Mereka berteriak dengan cara koor:
”Marhaen menang, Pancasila jaya”, itu bagi Janger PNI. Sedangkan janger
PKI bernyanyi koor: ”Sama rata, sama rasa, sosialisme ala Indonesia.”
Banyak lagi jargon-jargon khas zaman itu, yang saat ini menjadi sesuatu
yang menggelikan untuk dikenang.
”Janger politik” itu tidak lagi bercerita tentang kisah asmara,
tetapi ”kisah keluarga”, melalui tembang-tembangnya. Misalnya, Janger
kelompok pria bertembang tentang kepergiannya memperjuangkan nasib
rakyat, kalau dia meninggal, jangan cari suami yang berlainan partai.
Kelompok Janger wanita menjawab dengan tegas, bahwa ia akan melanjutkan
perjuangan.
Tetapi tidak semua sekaa Janger terlibat dalam ”politik praktis”. Ada
yang netral, namun cara berpakaian dan isi tembang mengikuti
perkembangan saat itu. Misalnya, Janger kelompok pria bernyanyi tentang
kepergiannya menjadi sukarelawan. Koor yang dikumandangkan selalu
diakhiri dengan jargon: ”Ganyang Malaysia”. Janger kelompok wanita
bertembang tentang cinta kasih sambil menyiapkan bekal untuk
”mengganyang Malaysia”.
Setelah meletusnya G-30-S/PKI, lama kesenian Janger menghilang.
Masyarakat Bali trauma dengan Janger, seolah-olah kesenian itu adalah
simbol dari ”sisi gelap” Bali, betapa mudahnya orang Bali diadu-domba
dan saling membunuh sesamanya. Janger baru muncul kembali di masa Orde
Baru. Dan lagi-lagi Janger menjadi corong politik, kali ini ”politik
pembangunan”. Maka ada Janger tentang Keluarga Berencana. Meski
kisah-kisah asmara masih ada, tetapi itu hanya sebagai pembuka sebelum
masuk ke kisah intinya yaitu propaganda pemerintah tentang
keberhasilannya. Orang tentu masih ingat, Gubernur Bali Ida Bagus Oka
hampir setiap HUT Pemda Bali mengajak stafnya menari Janger.
Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).
Sejarah Janger semestinya diteliti lebih jauh. Kalaupun tak bisa
menyeluruh, dimulai dari sejarah Janger lokal. Bagaimana perjalanan
Janger Kedaton yang berusia 100 tahun itu, bagaimana perjalanan Janger
Peliatan yang termasyur itu. Lagu bagaimana dengan kisah-kisah ”janger
politik” yang banyak muncul di Jembrana dan Tabanan di masa lalu. Apa
kita harus menunggu penulis asing, seperti halnya tentang Gambuh, untuk
membukukan riwayat Janger?
*Dari berbagai sumber